LIFE OF PI Review: Visually Stunning, Emotionally Rewarding
“An ‘unfilmable’ book”. Itulah label yang diberikan pada novel laris karya Yann Martel, Life of Pi. Berkisah tentang perjuangan Pi, pemuda 16 tahun bertahan hidup di tengah laut setelah kapal yang ditumpanginya tenggelam, novel yang memenangkan Booker Prize Award 2002 ini, didominasi oleh adegan yang sulit dibayangkan visualisasinya dalam bentuk film. Sejak pengumuman adaptasi layar lebarnya akan dibuat, banyak pembaca novelnya yang pesimis. Proses pra-produksi pun beberapa kali terhambat, dan nyaris tidak terdengar kabar perkembangannya. Namun, setelah proses yang cukup panjang, produksi Life of Pi mendapat lampu hijau, dan disutradarai oleh pemenang Academy Award, Ang Lee, serta dibintangi debutan, Suraj Sharma sebagai Pi.
Piscine Patel adalah anak seorang pemilik kebun binatang di Pondicherry, India. Pi, demikian ia meminta untuk dipanggil, sangat penasaran dengan eksistensi Tuhan dan Dewa-dewa. Ia pun mencoba dan mempelajari sejumlah agama: Hindu, Kristen, hingga Islam, dan bersikeras menjalani ketiganya sekaligus sampai ia menemukan yang ia rasa tepat. Orangtuanya hanya bisa pasrah, namun mendukung Pi untuk dapat menemukan apa yang benar-benar ia percaya sebagai pegangan hidup. Suatu ketika, di masa krisis ekonomi tengah melanda India, ayah Pi memutuskan untuk menjual sebagian hewannya, dan membawa sebagian lagi ke Kanada, karena prospek kebun binatang akan lebih menjanjikan di luar negeri. Mereka akan menumpang sebuah kapal besar dari Jepang, dan menyeberangi Lautan Pasifik yang luas untuk memulai hidup baru. Tragis bagi mereka, sebuah badai besar menerjang, dan kapal tersebut tenggelam, menyisakan Pi seorang satu-satunya yang selamat.
Pi and Richard Parker
Di sebuah sekoci, Pi tidak sendirian. Seekor zebra yang kakinya patah, hyena buas yang kelaparan, dan orangutan yang murung karena anaknya tewas, berbagi tempat bersama Pi. Seakan memperburuk keadaan, Pi baru menyadari, masih ada satu lagi bahaya yang mengancam. Seekor harimau benggala bernama Richard Parker, turut bergabung dalam kelompok kecil tersebut, dan, dalam waktu singkat, memangsa semua penumpang sekoci itu, kecuali Pi, yang menyelamatkan diri dengan bergantungan di ujung sekoci. Sadar bahwa ia dan Richard Parker sama-sama tidak berdaya di lautan, dan harus tetap bertahan hidup dengan makanan darurat yang terbatas hingga ada yang menyelamatkan mereka, Pi berusaha membangun komunikasi yang mustahil dengan sang harimau, dan menggunakan segala cara untuk tetap waras. Dalam perjuangannya, Pi mengalami berbagai peristiwa luar biasa, menyaksikan keajaiban, dan mendapatkan banyak pelajaran, serta memperoleh titik terang tentang Tuhan yang selama ini ia cari.
Glowing fishes. A pure cinematic eye treatment
Life of Pi melebihi semua ekspektasi yang dibebankan sebelum penayangannya. Ang Lee sukses menciptakan sebuah adaptasi tulisan ke audio visual dengan apik. Sinematografi dan CGI yang digunakan, terutama Richard Parker sang harimau dan efek spesial berbagai peristiwa di laut, benar-benar memanjakan mata dan menjadi penantang serius untuk Academy Awards untuk dua kategori tersebut.
Richard Parker, a very convincing CGI tiger in every movement and expression
Sebagai pendatang baru, Suraj Sharma sama sekali tidak tampak kaku atau terbebani. Ekspresi wajah dan luapan emosi yang ditunjukkannya sepanjang film turut menjadi kekuatan film ini. Begitu juga dengan Irrfan Khan yang berperan sebagai Pi dewasa. Aktor senior ini memberikan ketenangan dan kebijaksanaan sebagai penyeimbang karakter Pi muda yang naïf. Sejumlah adegan dan dialog akan membuat penonton berempati dan merasa terlibat secara emosional dan, bukan tidak mungkin, meneteskan air mata.
Film ini pun bukannya tanpa kekurangan. Adegan saling memangsa antara hewan di sekoci mungkin agak sensitif bagi anak kecil dan pecinta binatang. Meskipun semua hewan yang tampil di Life of Pi murni animasi CGI, namun penggambarannya sangat nyata. Tema tentang pencarian Tuhan dan agama pun bukan tak mungkin menyinggung sedikit orang. Namun, pesan yang disampaikan cukup jelas dan penonton pun pasti mampu menyimpulkan bahwa inti cerita Life of Pi bukan menggurui tentang apa agama yang terbaik, namun apa yang kita yakini sebagai yang terbaik, maka itulah yang terbaik.
Secara keseluruhan, Life of Pi adalah salah satu adaptasi novel ke film terbaik hingga kini. Ang Lee lagi-lagi membuktikan kapasitasnya sebagai penggarap drama di semua genre dan kategori umur. Dengan durasi 127 menit dan mostly hanya berfokus pada Pi dan Richard Parker di sebuah sekoci, Life of Pi sama sekali tidak membosankan dengan visualnya yang luar biasa. Versi 3D patut dicoba jika ingin mendapat pengalaman lebih. 5/5.